Ada tiga pertanyaan besar yang seharusnya dijawab oleh siapapun, saat dia mulai memilih jalan hidupnya. 3 pertanyaan yang semestinya bisa menuntun hidup kita menjadi lebih baik.
1. Siapa diri kita?
Kita jarang sekali benar2 melihat ke dalam diri sendiri. Kita lebih sering mengurus penampilan fisik, luar, kulitnya saja. Kita bahkan lebih sering mengurus, mengomentari kehidupan orang lain, tapi inti sari hidup sendiri, jiwa yang ada di dalam diri kita, kita jarang melihatnya. Tapi mau disadari atau tidak, setiap manusia memiliki jiwa, soul, di dalam tubuhnya. Pernahkah kita diam sejenak, merenungkannya dalam-dalam, menyapa jiwa kita tersebut, lantas benar2 bertanya, siapa sebenarnya diri kita ini? Siapa? Apa tugas saya dalam hidup ini? Kenapa saya diberikan kesempatan hidup? Lantas apa ‘tujuan’ saat sel-sel kehidupan saya mulai tumbuh membentuk janin, besar, lahir jadi bayi, terus tumbuh dewasa? Apa ‘tujuan’ saat pencipta membuat diri kita jadi manusia? Kenapa tidak kita dijadikan saja batu, tanah, kayu, atau hewan?
Kehidupan hari ini, membuat kita lebih asyik mengurus duniawi, ukuran materi dan semua fisik terlihat lainnya. Kita jarang mengintip ke dalam diri sendiri. Maka, mulailah menyapa jiwa kita, bertanyalah, apa hakikat kita ini? Siapa diri kita?
2. Apa yang harus saya lakukan?
Sejatinya, kita selalu tahu mana yang baik, mana yang buruk. Kita tahu itu. Secara alamiah, manusia tahu apa itu berkata bohong, berkata jujur. Dia punya hati nurani. Kita juga tahu mana yang bermanfaat, mana yang menyakiti. Bahkan dalam titik paling gelap hidup seseorang, saking terbiasanya dia berbohong (misalnya), dia tetap tahu mana yang baik, mana yang buruk. Maka pertanyaan besar berikutnya dalam hidup kita adalah: apa yang harus saya lakukan? Memilih kebaikan atau memilih keburukan.
Baik dan buruk ini hanya salah-satu kaki dari pertanyaan tersebut. Kaki lainnya adalah kepedulian. Apakah kita akan peduli? Juga ada kaki kerja keras, atau pemalas, tahan banting, keteguhan, atau sebaliknya, mudah menyerah. Kongkret atau hanya mengkhayal saja. Mulai dilaksanakan atau cuma berbual saja. Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, punya pertanyaan tersebut: apa yang harus saya lakukan? Pilihan kongkret atas pertanyaan ini banyak, mulai dari sekolah, karir, pekerjaan, profesi, jodoh, keluarga, persahabatan, itu semua kongkret. Apa yang harus saya lakukan? Apa yang akan kita pilih?
3. Terakhir, bagaimana kelak saya mati?
Kita harus tahu, ‘musibah’ besar terus menimpa kita setiap hari. Apa itu? Kematian kita semakin dekat. Setiap pagi datang, ‘musibah’ itu datang lagi. Usia kita berkurang sehari. Pasti. Lantas, tidakkah kita semua mulai bertanya dengan serius: bagaimana kelak saya mati? Bukan soal kapan tanggalnya, kapan jam-nya, juga bukan soal di mana tempatnya, kenapa, apa penyebabnya. Bukan. Melainkan, setelah fisik, tubuh kita membeku, kemanakah jiwa kita akan pergi? “Kehidupan’ seperti apa yang telah menunggu setelah kita mati.
Lantas, seharusnya, saat kita memikirkan pertanyaan ini, akan muncul ribuan kaki-kaki pertanyaan atau implikasi lainnya. Harta yang kita punya, popularitas yang kita miliki, kekuasaan, apapun itu, kemana perginya? Apa sebenarnya yang sungguh2 berharga kita perjuangkan dalam hidup ini? Apa itu sebenarnya kebahagiaan? Apa itu sebenarnya kesedihan dan atau kehilangan? Banyak sekali kaki-kaki pertanyaan dari pertanyaan besar tentang: bagaimana kelak saya mati?
Itulah tiga pertanyaan yang mendesak kita pikirkan. Pada akhirnya, semua akan mengerucut pada kristal kehidupan. Kedamaian. Rasa tenteram. Berdamai dengan diri sendiri.
1. Siapa diri kita?
Kita jarang sekali benar2 melihat ke dalam diri sendiri. Kita lebih sering mengurus penampilan fisik, luar, kulitnya saja. Kita bahkan lebih sering mengurus, mengomentari kehidupan orang lain, tapi inti sari hidup sendiri, jiwa yang ada di dalam diri kita, kita jarang melihatnya. Tapi mau disadari atau tidak, setiap manusia memiliki jiwa, soul, di dalam tubuhnya. Pernahkah kita diam sejenak, merenungkannya dalam-dalam, menyapa jiwa kita tersebut, lantas benar2 bertanya, siapa sebenarnya diri kita ini? Siapa? Apa tugas saya dalam hidup ini? Kenapa saya diberikan kesempatan hidup? Lantas apa ‘tujuan’ saat sel-sel kehidupan saya mulai tumbuh membentuk janin, besar, lahir jadi bayi, terus tumbuh dewasa? Apa ‘tujuan’ saat pencipta membuat diri kita jadi manusia? Kenapa tidak kita dijadikan saja batu, tanah, kayu, atau hewan?
Kehidupan hari ini, membuat kita lebih asyik mengurus duniawi, ukuran materi dan semua fisik terlihat lainnya. Kita jarang mengintip ke dalam diri sendiri. Maka, mulailah menyapa jiwa kita, bertanyalah, apa hakikat kita ini? Siapa diri kita?
2. Apa yang harus saya lakukan?
Sejatinya, kita selalu tahu mana yang baik, mana yang buruk. Kita tahu itu. Secara alamiah, manusia tahu apa itu berkata bohong, berkata jujur. Dia punya hati nurani. Kita juga tahu mana yang bermanfaat, mana yang menyakiti. Bahkan dalam titik paling gelap hidup seseorang, saking terbiasanya dia berbohong (misalnya), dia tetap tahu mana yang baik, mana yang buruk. Maka pertanyaan besar berikutnya dalam hidup kita adalah: apa yang harus saya lakukan? Memilih kebaikan atau memilih keburukan.
Baik dan buruk ini hanya salah-satu kaki dari pertanyaan tersebut. Kaki lainnya adalah kepedulian. Apakah kita akan peduli? Juga ada kaki kerja keras, atau pemalas, tahan banting, keteguhan, atau sebaliknya, mudah menyerah. Kongkret atau hanya mengkhayal saja. Mulai dilaksanakan atau cuma berbual saja. Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, punya pertanyaan tersebut: apa yang harus saya lakukan? Pilihan kongkret atas pertanyaan ini banyak, mulai dari sekolah, karir, pekerjaan, profesi, jodoh, keluarga, persahabatan, itu semua kongkret. Apa yang harus saya lakukan? Apa yang akan kita pilih?
3. Terakhir, bagaimana kelak saya mati?
Kita harus tahu, ‘musibah’ besar terus menimpa kita setiap hari. Apa itu? Kematian kita semakin dekat. Setiap pagi datang, ‘musibah’ itu datang lagi. Usia kita berkurang sehari. Pasti. Lantas, tidakkah kita semua mulai bertanya dengan serius: bagaimana kelak saya mati? Bukan soal kapan tanggalnya, kapan jam-nya, juga bukan soal di mana tempatnya, kenapa, apa penyebabnya. Bukan. Melainkan, setelah fisik, tubuh kita membeku, kemanakah jiwa kita akan pergi? “Kehidupan’ seperti apa yang telah menunggu setelah kita mati.
Lantas, seharusnya, saat kita memikirkan pertanyaan ini, akan muncul ribuan kaki-kaki pertanyaan atau implikasi lainnya. Harta yang kita punya, popularitas yang kita miliki, kekuasaan, apapun itu, kemana perginya? Apa sebenarnya yang sungguh2 berharga kita perjuangkan dalam hidup ini? Apa itu sebenarnya kebahagiaan? Apa itu sebenarnya kesedihan dan atau kehilangan? Banyak sekali kaki-kaki pertanyaan dari pertanyaan besar tentang: bagaimana kelak saya mati?
Itulah tiga pertanyaan yang mendesak kita pikirkan. Pada akhirnya, semua akan mengerucut pada kristal kehidupan. Kedamaian. Rasa tenteram. Berdamai dengan diri sendiri.
*Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar