- Jika seorang Muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur bagaimana mengenal seorang Muslim saat berpacaran adalah ilegal dalam Islam?
- Bagaimana hukum berlaku bagi seorang wanita pengadilan (wanita) untuk menikah dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan kepribadian satu sama lain?
- Bagaimana hukum saudara laki-laki mengekspresikan perasaannya (cinta / cinta) kepada istri (perempuan) dari calon istrinya?
Jawaban:
Pernyataan Anda benar bahwa berpacaran adalah ilegal dalam Islam. Berkencan adalah budaya dan peradaban ketidaktahuan, diawetkan oleh Barat dan kafir lainnya, diikuti oleh beberapa Muslim (kecuali mereka yang dijaga oleh Allah SWT), yang mengikuti perkembangan dan sebagai cara untuk menemukan dan memilih pasangan hidup. Syari'at Islam yang agung ini berasal dari Tuhan semesta Yang Mahatahu dan Bijaksana, dengan tujuan membimbing orang-orang untuk memahami kehidupan dan menjauhkan mereka dari kejahatan yang akan menghancurkan dan menghancurkan hidup mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah SWT berfirman:
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah mempesona), dan Allah SWT menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah SWT memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu Rasulullah SAW juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau ‘anhu):
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
Pernyataan Anda benar bahwa berpacaran adalah ilegal dalam Islam. Berkencan adalah budaya dan peradaban ketidaktahuan, diawetkan oleh Barat dan kafir lainnya, diikuti oleh beberapa Muslim (kecuali mereka yang dijaga oleh Allah SWT), yang mengikuti perkembangan dan sebagai cara untuk menemukan dan memilih pasangan hidup. Syari'at Islam yang agung ini berasal dari Tuhan semesta Yang Mahatahu dan Bijaksana, dengan tujuan membimbing orang-orang untuk memahami kehidupan dan menjauhkan mereka dari kejahatan yang akan menghancurkan dan menghancurkan hidup mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah SWT berfirman:
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah mempesona), dan Allah SWT menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah SWT memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu Rasulullah SAW juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau ‘anhu):
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
- Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah SAW menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah SAW berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah SAW usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir r.a dalam Shahih Muslim.
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
PACARAN VS TA’ARUF
Sebetulnya apa sich pacaran itu? Biasanya kalau ada cewek dan cowok saling suka,,??!!
Jaman sekarang gampang banget ketemu sama orang yang lagi pacaran. Di jalan, mal, kampus, di mana-mana. Apalagi sekarang kan ada acara TV yang nyomblang-in orang sampai ke pengeksposean pernyataan cinta segala. Sebetulnya apa sih pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling suka, salah satunya nyatain dan yang lainnya terima, itu berarti udah pacaran. Buat sebagian orang pacaran itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan. Pokoknya just for fun lah! Ada juga orang-orang tujuannya untuk lebih mengenal sebelum pernikahan.
Sebagai umat Islam kita perlu lho mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.
Pertama, orang kalo lagi pacaran maunya berdua terus. Ah yang bener, iya apa iya. Beberapa hari enggak ditelpon udah resah, seharian enggak di sms udah kangen. Begitu ketemu pengen memandang wajahnya terus, wah pokoknya dunia serasa berbunga-bunga. Apalagi kalau pakai acara mojok berdua, di tempat sepi mesra-mesraan. Waduh, hati-hati deh, soalnya Rasulullah SAW bersabda, “ Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syetan merupakan orang ketiga diantara mereka.”
Kedua, kalau lagi pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa yang lainnya. Dunia serasa milik berdua yang lainnya ngontrak. Hati-hati juga nih, nanti kita bisa lupa sama tujuan Allah menciptakan kita (manusia). FirmanNya, “ Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51:56)
Ketiga, bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks udah jadi bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1% pertama kali melakukan dengan pacarnya.
Memang banyak orang pacaran awalnya enggak menjurus ke sana. Tapi gara-gara sering berdua, ada kesempatan, dan diem-diem syetan udah ngerubung, yah terjadilah. Pertama pegang tangan, terus rangkul pundak, terus cium pipi, terus…..terus…..wah bisa kebablasan deh. Jangan salah lho, agama kita melindungi kita dengan melarang melakukan perbuatan-perbuatan itu.
FirmanNya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu pekerjaan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 17:32)
Ternyata Al Quran udah melakukan tindakan preventif dengan melarang mendekatinya, bukan melarang melakukannya. Rasulullah SAW juga bersabda, “Seandainya kamu ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik bagimu daripada menyentuh perempuan yang tidak halal bagimu.” Jadi pegang-pegangan tangan juga mesti dihindari tuh.
Keempat, ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.
Kalaulah kini kita tahu praktek pacaran nggak menjadi suatu jaminan bahkan banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridho-Nya, masihkah kita yang mengaku hamba-Nya, yang menginginkan surga-Nya, yang takut akan neraka-Nya, masih melakukannya? Tapi kalau bukan dengan pacaran, gimana caranya ketemu jodoh? Jaman sekarang kan kita enggak bisa gampang percaya sama orang, jadi perlu ada penjajagan. Islam punya solusi yang mantap dan OK dalam memilih jodoh. Istilahnya ngetop dengan nama Ta’aruf, artinya perkenalan.
Pertama, ta’aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi kalau salah satu atau keduanya nggak merasa sreg bisa menyudahi ta’arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta’aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta’ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.
Kedua, ta’aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya.traktir ini itu (padahal dapet duit dari minjem temen atau hasil ngerengek ke ortu tuh!).
Ketiga, dengan ta’aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini kan penghematan waktu yang besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya sering tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?!
Keempat, melalui ta’aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang kita inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah tapi kalau ada yang kurang sreg bisa dipertimbangan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhir pun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui sholat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pada pacarnya, misalnya pacarnya suka memukul, suka mabuk, tapi tetap bisa menerima padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta’aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan “digantung” pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.
Keenam, dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) kecil yang artinya kita terhindar dari zina.
Nah ternyata ta’aruf banyak kelebihannya dibanding pacaran dan Insya Allah diridhoi Allah. Jadi, sahabat……..kita mau mencari kebahagian dunia akhirat dan menggapai ridhoNya atau mencari kesulitan, mencoba-coba melanggar dan mendapat murka-Nya?!
Teh Emil.
Referensi: Kafemuslilmah.com
Bagaimana cara ta’aruf?
Cowok/cewek yg memulai ta’aruf itu bukan masalah, yang penting semuanya didasari dgn keikhlasan, kejujuran dan niatan yg tulus. Dalam ta’ruf memang tdk bisa dilakukan sendiri karena kita tdk diperkenankan ngomong berduaan tanpa orang lain.
Sebelum memulai ta’aruf kamu perlu meyakinkan dirimu dulu apakah kamu benar2 serius ingin membina rumah tangga.!!?
Kalao soal cara itu gampang… kamu bisa minta tolong orang yg lebih tua yang kamu percaya untuk menyampaikan keinginanmu(biasanya para murabbiyah/ustadzah), insyaallh ia akan amanah menjaga rahasiamu dan membantumu dgn baik. Jangan minta tolong ke sembarang orang karena dikhawatirkn kurang amanah dan malah menambah aib buat kamu.
Tapi satu hal yg harus kamu yakini bahwa stiap niatan yg baik dan dilakukan dg benar pasti akan diberi kemudahan oleh Allah.
“Banyak peristiwa berawal dari pandangan mata,seperti jilatan api bermula dari setitik bara.
Betapa banyak pandangan yg membelah hati,laksana anak panah yg melesat dari busur.
Selagi manusia memiliki mata untuk memandang,dia tidak lepas dari bahaya yg menghadang.
Senang di permulaan,namun bahaya di kemudian hari.
Tiada ucapan selamat datang,yg ada bahaya saat kembali”
.(Ibnu Qoyim al-jauziyah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah..!Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah SWT melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah SAW dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya: “Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah SAW juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah SAW ) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah SWT memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah SAW, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah SAW terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah SAW sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
Subhanallah..!Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah SWT melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah SAW dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya: “Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah SAW juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah SAW ) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah SWT memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah SAW, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah SAW terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah SAW sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
- Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
- Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits Abu Hurairah r.a:
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22) Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`:32)Rasulullah SAW juga bersabda:
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah r.a berkata:
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah r.a, dia berkata:“Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka Beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi saw berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah SAW dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah SAW menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah SAW maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah. ”Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus. Wallahu a’lam. Sumber: www.asysyariah.com
Sebetulnya apa sich pacaran itu? Biasanya kalau ada cewek dan cowok saling suka,,??!!
Jaman sekarang gampang banget ketemu sama orang yang lagi pacaran. Di jalan, mal, kampus, di mana-mana. Apalagi sekarang kan ada acara TV yang nyomblang-in orang sampai ke pengeksposean pernyataan cinta segala. Sebetulnya apa sih pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling suka, salah satunya nyatain dan yang lainnya terima, itu berarti udah pacaran. Buat sebagian orang pacaran itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan. Pokoknya just for fun lah! Ada juga orang-orang tujuannya untuk lebih mengenal sebelum pernikahan.
Sebagai umat Islam kita perlu lho mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.
Pertama, orang kalo lagi pacaran maunya berdua terus. Ah yang bener, iya apa iya. Beberapa hari enggak ditelpon udah resah, seharian enggak di sms udah kangen. Begitu ketemu pengen memandang wajahnya terus, wah pokoknya dunia serasa berbunga-bunga. Apalagi kalau pakai acara mojok berdua, di tempat sepi mesra-mesraan. Waduh, hati-hati deh, soalnya Rasulullah SAW bersabda, “ Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syetan merupakan orang ketiga diantara mereka.”
Kedua, kalau lagi pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa yang lainnya. Dunia serasa milik berdua yang lainnya ngontrak. Hati-hati juga nih, nanti kita bisa lupa sama tujuan Allah menciptakan kita (manusia). FirmanNya, “ Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51:56)
Ketiga, bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks udah jadi bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1% pertama kali melakukan dengan pacarnya.
Memang banyak orang pacaran awalnya enggak menjurus ke sana. Tapi gara-gara sering berdua, ada kesempatan, dan diem-diem syetan udah ngerubung, yah terjadilah. Pertama pegang tangan, terus rangkul pundak, terus cium pipi, terus…..terus…..wah bisa kebablasan deh. Jangan salah lho, agama kita melindungi kita dengan melarang melakukan perbuatan-perbuatan itu.
FirmanNya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu pekerjaan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 17:32)
Ternyata Al Quran udah melakukan tindakan preventif dengan melarang mendekatinya, bukan melarang melakukannya. Rasulullah SAW juga bersabda, “Seandainya kamu ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik bagimu daripada menyentuh perempuan yang tidak halal bagimu.” Jadi pegang-pegangan tangan juga mesti dihindari tuh.
Keempat, ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.
Kalaulah kini kita tahu praktek pacaran nggak menjadi suatu jaminan bahkan banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridho-Nya, masihkah kita yang mengaku hamba-Nya, yang menginginkan surga-Nya, yang takut akan neraka-Nya, masih melakukannya? Tapi kalau bukan dengan pacaran, gimana caranya ketemu jodoh? Jaman sekarang kan kita enggak bisa gampang percaya sama orang, jadi perlu ada penjajagan. Islam punya solusi yang mantap dan OK dalam memilih jodoh. Istilahnya ngetop dengan nama Ta’aruf, artinya perkenalan.
Pertama, ta’aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi kalau salah satu atau keduanya nggak merasa sreg bisa menyudahi ta’arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta’aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta’ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.
Kedua, ta’aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya.traktir ini itu (padahal dapet duit dari minjem temen atau hasil ngerengek ke ortu tuh!).
Ketiga, dengan ta’aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini kan penghematan waktu yang besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya sering tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?!
Keempat, melalui ta’aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang kita inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah tapi kalau ada yang kurang sreg bisa dipertimbangan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhir pun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui sholat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pada pacarnya, misalnya pacarnya suka memukul, suka mabuk, tapi tetap bisa menerima padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta’aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan “digantung” pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.
Keenam, dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) kecil yang artinya kita terhindar dari zina.
Nah ternyata ta’aruf banyak kelebihannya dibanding pacaran dan Insya Allah diridhoi Allah. Jadi, sahabat……..kita mau mencari kebahagian dunia akhirat dan menggapai ridhoNya atau mencari kesulitan, mencoba-coba melanggar dan mendapat murka-Nya?!
Teh Emil.
Referensi: Kafemuslilmah.com
Bagaimana cara ta’aruf?
Cowok/cewek yg memulai ta’aruf itu bukan masalah, yang penting semuanya didasari dgn keikhlasan, kejujuran dan niatan yg tulus. Dalam ta’ruf memang tdk bisa dilakukan sendiri karena kita tdk diperkenankan ngomong berduaan tanpa orang lain.
Sebelum memulai ta’aruf kamu perlu meyakinkan dirimu dulu apakah kamu benar2 serius ingin membina rumah tangga.!!?
Kalao soal cara itu gampang… kamu bisa minta tolong orang yg lebih tua yang kamu percaya untuk menyampaikan keinginanmu(biasanya para murabbiyah/ustadzah), insyaallh ia akan amanah menjaga rahasiamu dan membantumu dgn baik. Jangan minta tolong ke sembarang orang karena dikhawatirkn kurang amanah dan malah menambah aib buat kamu.
Tapi satu hal yg harus kamu yakini bahwa stiap niatan yg baik dan dilakukan dg benar pasti akan diberi kemudahan oleh Allah.
“Banyak peristiwa berawal dari pandangan mata,seperti jilatan api bermula dari setitik bara.
Betapa banyak pandangan yg membelah hati,laksana anak panah yg melesat dari busur.
Selagi manusia memiliki mata untuk memandang,dia tidak lepas dari bahaya yg menghadang.
Senang di permulaan,namun bahaya di kemudian hari.
Tiada ucapan selamat datang,yg ada bahaya saat kembali”
.(Ibnu Qoyim al-jauziyah)
Sekilas Tentang Proses Ta’aruf
Saya pernah ditanya tentang bagaimana cara mengidentifikasi akhawat yang “asli” di zaman sekarang? Karena kini banyak akhawat berjilbab panjang namun kok masih titik-titik. Padahal ikhwah aktivis da’wah yang haraki inginkan pendamping yang haraki pula.
Nah, disinilah manfaat ta’aruf, agar kita tidak terjebak pada ghurur. Ta’aruf bukan sekedar formalitas saja namun benar-benar dilaksanakan untuk saling mengenal, mencari informasi akhlak, kondisi keluarga, saling menimbang, dsb. Permasalahan sesungguhnya bukanlah pada akhawat “yang asli” atau “tidak asli” namun terkait kepada pemahaman kita bahwa hanya Allah sajalah yang mengetahui kadar keimanan seseorang, terlepas dari penampilannya. Walau pemakaian jilbab adalah juga cermin keimanan. Pemahaman “Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik….” “(QS.24:26) Ayat di atas adalah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya. Berdasarkan ayat tersebut, Allah swt telah menetapkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, demikian pula sebaliknya. Jadi kita tak perlu khawatir akan mendapatkan pendamping yang tak sekufu agamanya karena sesungguhnya semuanya bermula dari diri kita sendiri. Sudahkah kita beragama dengan baik? Bagaimana kadar keimanan kita? Identifikasi 1. Akhlak Akhawat berjilbab panjang dan lebar belum tentu lebih baik dari yang berjilbab biasa-biasa saja. (maksudnya, “biasa-biasa “ tapi tetap mencukupi kriteria syar’i jilbab). Menilai baik tidaknya agama seseorang tidak bisa dilihat dari panjangnya jilbab, tidak bisa dilihat dari banyaknya shalat, rajinnya puasa, gelar hajjah, dan sebagainya. Karena banyak orang yang rajin shalat tapi suka ghibah, berpuasa tapi durhaka pada orang tua, bergelar hajjah tapi tidak amanah. Agama bukan pula diidentifikasikan dari luasnya pengetahuan agama (tsaqofah). Karena banyak missionaris yang pengetahuan agamanya lebih luas dibandingkan umat Islam sendiri. Agama bukan pula dilihat dari banyaknya hafalan Al Qur’an karena Snouck Hongruje pun, khatam hafalan Qur’an. Ukuran agama adalah akhlak. Iman itu adanya di dalam hati. Dan tentu saja tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah namun iman yang benar-benar menyala di dalam hati, cahayanya pasti akan memancar keluar, yaitu dalam bentuk akhlak. Pancaran cahaya keimanan inilah yang harus kita cari. Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya seorang hamba yang berakhlak baik akan mencapai derajat dan kedudukan yg tinggi di akhirat, walaupun ibadahnya sedikit. “ Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda mengenai wanita ahli ibadah yang masuk neraka karena menyiksa seekor kucing hingga mati. Dan di hadits lainnya, ada wanita pelacur yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing yg kehausan. Ini menandakan bahwa tak ada yang mengetahui kebaikan hakiki seseorang karena taqwa itu adanya di sini (di hati)!. Umat Nabi Muhammad itu seperti air hujan yang tak dapat diketahui mana yang lebih baik, awalnya atau akhirnya. Ingatlah kisah Nabi Daud ketika sedang bersama murid-muridnya dalam sebuah halaqah (pertemuan)dan kemudian datang seorang laki-laki yang baik pakaiannya, terlihat sangat sholeh hingga membuat murid-murid Nabi Daud bersimpati dan kagum. Namun ternyata ia adalah seorang munafiq dan Nabi Daud mengetahui hal itu dari akhlaknya saat orang tersebut memasuki masjid dengan kaki kiri, tangisannya di depan umum, dan ucapan salamnya kepada halaqah yang sudah dimulai. 2. Hati yg Lembut. “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yg murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang mu’min, bersikap keras terhadap orang-orang kafir……..” Kepada saudaranya yang mu’min ia akan berkasih sayang, saling menasehati dan tidak akan merendahkan saudaranya seiman. Hati yang lembut dapat terlihat dari keridhoannya menerima kebenaran (Al Haq). Ia akan mudah untuk menerima nasehat dan segera memperbaiki kesalahannya. Hati yang keras tidak akan rela untuk menerima nasehat dan terus berkubang dalam kesalahan. Hati yang lembut dapat mencegah mulut dan tangannya dari menzalimi orang lain. Syarat Seorang Informan Untuk mengetahui akhlak akhawat/ikhwan, tentu kita harus menanyakannya kepada orang lain. Ini dikarenakan kita tidak mengenal baik akhawat/ikhwan tersebut. Lalu kepada siapakah kita bertanya? Tanyakanlah kepada orang-orang terdekatnya. Namun orang yang terdekat ini bukanlah sembarang orang. Di bawah ini adalah tips dari Umar bin Khattab untuk mengetahui apakah informan benar-benar mengenal akhwat/ikhwan yang dimaksud. Yaitu: 1. Ia sudah melakukan mabit atau safar dengan akhwat tersebut sehingga mengetahui persis akhlaknya. 2. Ia sudah melakukan hubungan finance (muamalah) dengan akhwat tersebut sehingga dapat terlihat apakah ia amanah. 3. Ia sudah menyaksikan akhwat tersebut menahan amarah karena ketika orang marah akhlak aslinya akan terlihat, baik ataukah buruk. Niat Mempengaruhi Keberkahan Wanita dinikahi karena empat perkara : Kecantikan, nasab, harta, agama. Namun pilihlah karena agamanya agar berkah kedua tanganmu. Tidaklah salah bila para ikhwan menentukan standar atau kriteria calonnya. Namun hendaknya kriteria tersebut proporsional, tidak muluk dan jangan mempersulit diri sendiri. Mengharapkan sosok yang sempurna dan super ideal sangatlah jarang bahkan mungkin tidak ada. Dan bila sampai kesempurnaan yg dicari tidak ditemukan pada sosok sang kekasih, maka akan menimbulkan kekecewaan. Sesungguhnya ketidaksempurnaan adalah wujud kesempurnaan. Syukurilah karunia-Nya, jangan terlalu banyak menuntut. Jadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain. Bukankah pernikahan itu seperti pakaian yang saling melindungi dan menutupi kekurangan. Saling menerima kelebihan dan kekurangan. “Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niatnya.“Asy Syahid Imad Aqil, mujahid Palestina pernah berkata : “ Riya lebih aku takuti dari tentara-tentara Israel.“ Dan pepatah mengatakan “ Tentara terdepanmu adalah keikhlasan. “ Rasulullah saw bersabda : “ Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena ingin menutupi farjinya dan mempererat silaturahmi maka Allah akan memberikan barakah-Nya kepada keduanya (suami isteri ) “ Istikharah Jangan lupa istikharah untuk mendapatkan kemantapan. Seperti sebuah bait puisi, “Bariskan harapan pada istikharah sepenuh hati ikhlas. Relakan Allah pilihkan untukmu. Pilihan Allah tak selalu seindah inginmu, tapi itu pilihan-Nya. Tak ada yang lebih baik dari pilihan Allah. Mungkin kebaikan itu bukan pada orang yang terpilih itu, melainkan pada jalan yang kaupilih. Atau mungkin kebaikan itu terletak pada keikhlasanmu menerima keputusan Sang Kekasih Tertinggi. Kekasih tempat orang-orang beriman memberi semua cinta dan menerima cinta. |
“Orang2 beriman adalah orang2 yg dicintai oleh Alloh SWT.
Maka kita juga harus mencintai orang2 yg dicintai oleh Alloh SWT
.Jika tali kecintaannya itu karena Alloh.Maka akan kekal,
Bukan karena dunia dan kesenangannya yang fana ini.
Mencintai Allah, berarti mencintai seseorang karena di dalam dirinya ada hal-hal yang Allah cintai, seperti tauhid murni, iman sejati, amal, permuliaan Sunah, berpantang dari bid'ah (hal-hal yang tidak sah, yaitu Quran & Sunnah / pada layar).
Orang-orang percaya wijen yang penuh kasih sayang adalah salah satu penghuni Surga. "
(Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari)
Maka kita juga harus mencintai orang2 yg dicintai oleh Alloh SWT
.Jika tali kecintaannya itu karena Alloh.Maka akan kekal,
Bukan karena dunia dan kesenangannya yang fana ini.
Mencintai Allah, berarti mencintai seseorang karena di dalam dirinya ada hal-hal yang Allah cintai, seperti tauhid murni, iman sejati, amal, permuliaan Sunah, berpantang dari bid'ah (hal-hal yang tidak sah, yaitu Quran & Sunnah / pada layar).
Orang-orang percaya wijen yang penuh kasih sayang adalah salah satu penghuni Surga. "
(Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar